Ads

Thursday 22 September 2011

Hukum Mengahwini Perempuan Yang Sedang Mengandung Anak Luar Nikah

Hukum Mengahwini Perempuan Yang Sedang Mengandung Anak Luar Nikah

Persidangan Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia Kali Ke-3 yang bersidang pada 21-22 Jan 1971 telah membincangkan Mengahwini Perempuan Yang Sedang Mengandung Anak Luar Nikah. Persidangan telah memutuskan bahawa perempuan yang sedang mengandung anak luar nikah harus dinikahkan tetapi anaknya tidak boleh dinasabkan kepada lelaki itu, tidak dapat pesaka daripadanya, tidak menjadi mahram kepadanya dan lelaki itu tidak boleh menjadi walinya.

Hukum Kahwin Lari Meninggalkan Wali Lebih Dua Marhalah

Hukum Kahwin Lari Meninggalkan Wali Lebih Dua Marhalah

Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia Kali Ke-52 yang bersidang pada 1 Jul 2002 telah membincangkan Perkahwinan Lari Meninggalkan Wali Lebih Dua Marhalah Mengikut Mazhab Al-Syafie. Muzakarah telah memutuskan bahawa perkahwinan yang dilakukan oleh jurunikah yang diiktiraf oleh pihak berkuasa bagi pasangan yang berjauhan dari wali lebih dari dua marhalah adalah sah menurut mazhab Al-Syafie.

Hukum nikah di luar negara

Hukum nikah di luar negara, termasuk kahwin di Thailand adalah sah dengan syarat :

   1. Pernikahan itu mengikut rukun nikah
   2. Pernikahan itu melebihi dua marhalah
   3. Tiada keputusan mahkamah yang menghalang perempuan itu berkahwin atas alasan syarak ditempat dia bermastautin.
   4. Pernikahan itu dilakukan oleh wali hakim yang diiktiraf oleh wilayah negara berkenaan dan diakad nikahkan di wilayah berkenaan di mana ia ditauliahkan sebagai wali hakim.

Oleh : Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia Kali Ke-52

Tarikh Keputusan : 1 Julai 2002

Tarikh Muzakarah : 1 Julai 2002 hingga 1 Julai 2002

Sumber : Jabatan Kemajuan Islam Malaysia

Hukum Talak Tiga Dalam Satu Lafaz

MUKADDIMAH

Fenomena perceraian sangat marak dewasa ini dan amat memprihatinkan. Kata Talak (cerai) dengan mudah diucapkan dan keluar dari mulut sang suami bahkan dari sang isteri padahal sebenarnya menurut syari’at bukan menjadi ‘hak’-nya, apalagi bila dikaitkan dengan kehidupan kalangan tertentu yang menjadikan kasus-kasus seperti ini yang terjadi pada diri mereka sebagai bahan ‘komersil.’

Selaku umat Islam, kita sangat terpukul karena ini menandakan bahwa sangat sedikit sekali kalangan umat ini yang memahami benar arti sebuah pernikahan dan makna ‘talak’ itu sendiri.

Terkait dengan masalah talak ini, kita sering mendengar ucapan ‘talak tiga’ dengan begitu ringan keluar dari mulut sang suami apalagi bila dalam kondisi emosi. Ucapan ini keluar tanpa mempertimbangkan syari’at dan implikasinya di mana salah satu pihak yang pasti akan menderita adalah anak (bila telah dikaruniai anak). Manakala sang isteri yang diceraikan bisa saja akan mendapatkan ‘pengganti’ setelah itu, tetapi akankah anak demikian.? Inilah yang perlu dipertimbangkan dengan matang dan secara seksama agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.

Benar, bahwa talak itu merupakan tindakan terakhir yang disediakan syari’at dalam mengatasi lika-liku rumah tangga apabila memang tidak ada lagi kecocokan, tetapi hendaknya tidak menyerah dengan dalih seperti itu. Perlu ada upaya-upaya dan langkah-langkah guna menjadikan rumah tangga tetap harmonis dan terhindar dari keretakan.

Pada masa akhir khalifah ‘Umar, tindakan ‘main’ talak tiga begitu trendi sehingga membuat ‘Umar menjalankan ijtihad sekaligus memberikan pelajaran kepada mereka yang dengan seenaknya mengeluarkan ucapan yang berbahaya itu.

Nah, dalam kajian kali ini, diketengahkan seputar permasalahan tersebut, semoga bermanfa’at.

NASKAH HADITS

Hadits Pertama:

Dari Ibn ‘Abbas, dia berkata, Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan 2 tahun pertama masa kekhilafahan ‘Umar talak tiga (sekaligus dengan satu lafazh) terhitung satu kali talak. Maka berkatalah ‘Umar bin al-Khaththab, “Orang-orang terlalu terburu-buru dalam urusan (menalak tiga sekaligus dalam satu lafazh) mereka yang dulu masih ada tempo waktunya. Andaikatan kami jalankan apa yang mereka lakukan dengan terburu-buru itu (bahwa talak tiga dalam satu kata (lafazh) itu jatuh talak tiga) niscaya hal itu dapat mencegah dilakukannya talak secara berturut-turut (seperti yang mereka lakukan itu).” Lalu ia memberlakukan hal itu terhadap mereka. (HR.Muslim)

Hadits Ke-dua:

Dari Mahmud bin Labid, ia berkata, saat Rasulullah SAW diberitahu mengenai seorang laki-laki yang menalak isterinya dengan talak tiga sekaligus, maka berdirilah ia dalam kondisi marah, kemudian berkata, “Apakah ia ingin bermain-main dengan Kitabullah padahal aku masih ada di tengah kalian.?” Ketika itu ada seorang laki-laki berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya.?” (HR.an-Nasa’iy, dan para periwayatnya adalah para periwayat Tsiqat)

Kualitas hadits kedua ini adalah shahih.

Hadits Ke-tiga:

Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata, Abu Rukanah telah menalak Ummu Rukanah, lalu Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Rujuklah isterimu itu.” Lalu ia menjawab, “Sudah aku talak tiga ia.” Beliau berkata, “Aku sudah tahu, rujuklah ia.” (HR.Abu Daud)

Dalam riwayat Ahmad terdapat teks:

“Abu Rukanah menalak isterinya dengan talak tiga dalam satu majlis (sekaligus), maka ia pun menyesali kejadian itu (bersedih atasnya), maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Ia hanya (terhitung) satu kali.”
Tetapi dalam sanad ini terdapat Ibn Ishaq yang perlu diberi catatan.

Abu Daud meriwayatkan dari jalur lainnya dengan riwayat yang lebih baik:

“Bahwa Abu Rukanah telah menalak isterinya, Suhaimah dengan pasti (sekaligus dan langsung talak tiga-red), lalu ia memberitahu Nabi SAW mengenai hal itu, lantas beliau berkata, “Demi Allah, kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali saja.?” Maka, Rasululullah SAW mengembalikan isterinya kepadanya.

Kualitas Hadits

Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits ini; ada yang menilainya shahih dan menjadikannya sebagai hujjah dan ada pula yang menilainya lemah (Dla’if) dan berhujjah dengan hadits yang bertentangan dengannya. Dari perbedaan ini timbul perbedaan para ulama mengenai hukum masalah yang ada di dalam hadits ini.

Bagi para ulama yang menilainya shahih, mereka berargumentasi: Abu Daud berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dari hadits Ibn Juraij yang didalamnya berbunyi, ‘Sesungguhnya Rukanah telah menalak isterinya dengan talak tiga (sekaligus).’”

Ibn Majah berkata, “Aku mendengar ath-Thanaafisi berkata, ‘Alangkah mulianya hadits ini.’ Ini menjelaskan betapa sanadnya begitu mulia dan banyak faedahnya.”

Sementara para ulama yang menilainya lemah, termasuk di antaranya Ibn al-Qayyim berargumentasi: hadits tersebut dinilai lemah oleh Imam Ahmad. Syaikh kami (maksudnya, Ibn Taimiyyah-red) berkata, ‘Para ulama tokoh dan besar yang sangat mengenali ‘illat-‘illat hadits seperti Imam Ahmad, al-Bukhary, Ibn ‘Uyainah dan ulama lainnya menilai lemah hadits Rukanah tersebut. Demikian juga, Ibn Hazm. Mereka mengetakan, ‘Para periwayatnya adalah sekelompok orang yang masih anonim (tidak diketahui), tidak dikenal keadilan dan kekuatan hafalan mereka. Imam Ahmad berkata, ‘Hadits Rukanah tidak valid.’”

Imam at-Turmudzy berkata, “Hadits ini tidak dikenal kecuali dari jalur ini saja. Aku pernah menanyakan kepada al-Bukhari mengenainya, maka ia berkata, ‘Itu hadits Muththarib.’ (bagian dari hadits Dla’if/lemah-red).

Syaikh al-Albani berkata, “Alhasil, hadits tersebut Dla’if sedangkan hadits Ibn ‘Abbas lainnya yang bertentangan dengan makna hadits tersebut lebih kuat darinya, wallahu a’lam.”

Tarjamah (Biografi) Singkat Abu Rukanah Dan Ummu Rukanah

Sesuai dengan yang dikenal dalam buku-buku Taraajum, buku hadits dan lainnya, bahwa Abu Rukanah adalah Rukanah bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin la-Muththalib, al-Qurasyi al-Muththalibi.

Syaikh al-Bassam, pengarang buku syarah Bulughul Maram yang kita bahas ini mengomentari: “Demikian tertera namanya (Abu Rukanah) seperti yang saya dapatkan di dalam kitab Bulughul Maram…Saya juga merujuk beberapa kitab induk, termasuk di antaranya kitab al-Ishabah karya pengarang sendiri (yakni pengarang bulugh al-Maram, Ibn Hajar-red), saya hanya menemukan kata ‘Rukanah’ (tanpa Abu-red). Menurut saya adanya tambahan “Abu” ini hanya kerjaan Nussaakh (para penyalin tulisan dari teks asli ke buku berikutnya, dalam istilah sekarang: tukang Copy –red)

Sedangkan Suhaimah adalah Suhaimah binti ‘Umair al-Muzainah dari Bani Muzainah, sebuah kabilah Mudlar, sekarang bersekutu dengan kabilah Harb dan mendiami bagian barat kawasan al-Qashim (Arab Saudi-red).

PESAN-PESAN HADITS

1. Hadits pertama menginformasikan bahwa tiga kali talak dengan satu kalimat (lafazh) tidak dihitung (dinilai) selain sebagai satu kali talak saja; jika ia bukan merupakan talak yang ketiga (terakhir), maka masih boleh rujuk. Hadits ini merupakan rujukan inti bagi pendapat yang mengatakan demikian.

2. Hadits ke-dua menunjukkan bahwa tiga kali talak yang tidak diiringi rujuk dan nikah (langsung talak tiga sekaligus-red), maka ia merupakan talak bid’ah yang diharamkan.

3. Bahwa bermain-main dengan hukum-hukum Allah dan melanggar aturan-Nya termasuk dosa besar sebab Nabi SAW tidak marah kecuali terhadap kemaksiatan yang besar.

4. Bermain-main dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya adalah haram sekali pun dilakukan sepeninggal Rasulullah SAW. Beliau mengucapkan kata-kata seperti itu tidak lain karena merasa aneh dengan sangat cepatnya perubahan yang melanda berbagai perkara.

5. Indikasi dua riwayat Abu Daud dan Ahmad pada hadits ketiga adalah sama dengan hadits pertama dari sisi penilaian bahwa tiga kali talak itu terhitung satu kali talak saja dan bahwa seorang suami yang menalak isterinya boleh rujuk kepada isterinya selama talak itu bukan merupakan akhir dari angka talak yang masih dimilikinya (talak ini bukan terhitung yang ketiga kalinya dari talak yang pernah dilakukannya).

6. Sementara riwayat kedua dari Abu Daud di atas menunjukkan bahwa talak tiga sekaligus berlaku sesuai dengan niat orang yang menalak; jika ia meniatkan tiga, maka ia jadi tiga dan jika ia meniatkan hanya satu, maka ia jadi satu, yang memungkinkan untuk rujuk.

7. Riwayat talak tiga sekaligus dalam hadits Rukanah merupakan dalil Jumhur bahwa tiga talak itu merupakan ucapan talak Ba’in Bainuunah Kubro yang tidak bisa lagi dirujuk kecuali setelah si isteri yang ditalak itu menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai lagi-red.).

Perbedaan Pendapat Para Ulama

Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang menalak dengan talak tiga sekaligus atau mengucapkannya dengan tanpa diselingi rujuk dan nikah.
Artinya, apakah talak tiga itu harus dikomitmeninya sehingga isterinya menjadi tidak halal lagi baginya kecuali setelah ia menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai) dan menjalani masa ‘iddah darinya? Atau kah ia hanya terhitung satu kali talak saja sehingga ia boleh rujuk dengan isterinya selama masih dalam ‘iddah, lalu setelah ‘iddah ia melakukan ‘aqad baru sekali pun isterinya tersebut belum lagi menikah dengan laki-laki lain.?

Masalah ini menjadi ajang perdebatan panjang para ulama, bahkan gara-gara mengatakan boleh rujuk (dengan talak tiga sekaligus karena mengganggapnya terhitung satu kali talak-red) ada beberapa ulama yang disiksa, di antaranya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya.

Ringkasan Dari Perselisihan Dan Perdebatan Panjang Itu Adalah:

1. Jumhur Ulama, di antaranya empat imam madzhab, jumhur shahabat dan tabi’in berpendapat bahwa tiga talak dengan satu kata (lafazh) adalah berlaku bila seorang suami berkata, “Kamu saya talak (tiga kali)!” dan semisalnya atau dengan beberapa kata (kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak) sekali pun sebelumnya belum terjadi rujuk dan nikah.

Dalil

a. Hadits Rukanah bin ‘Abdullah bahwasanya ia telah menalak isterinya secara pasti (talak tiga sekaligus), lalu ia memberitahukan hal itu kepada Nabi SAW, lantas beliau berkata, “Demi Allah, kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali saja.?”

Hadits ini dikeluarkan oleh asy-Syafi’i, Abu Daud, at-Turmudzy, Ibn Hibban (dia menilainya shahih) dan al-Hakim.

Sisi Pendalilan

Di dalam hadits tersebut, Rasulullah meminta kepada suami yang menceraikan itu agar bersumpah bahwa ia tidak menginginkan dari ucapannya “putus” (talak tiga) tersebut kecuali hanya satu kali saja. Ini menandakan bahwa seandainya ia (suami) menghendaki lebih banyak dari itu (lebih dari satu kali) niscaya terjadilah apa yang diinginkannya.

b. Amalan para shahabat, di antaranya ‘Umar bin al-Khaththab RA yang menilai talak tiga dalam satu kata (lafazh) berlaku tiga seperti yang diucapkan suami yang menalak. Tentunya, mereka cukup sebagai panutan.

Selain dalil di atas, masih banyak lagi dalil yang dikemukakan pendapat ini namun apa yang kami sebutkan tersebut merupakan dalil yang lebih jelas dan secara terang-terangan.

2. Sekelompok ulama berpendapat tiga talak dalam satu kata (lafazh), atau tiga talak dalam beberapa kata yang tidak diiringi rujuk dan nikah, tidak jatuh kecuali hanya satu kali saja (satu talak). Pendapat ini didukung oleh riwayat dari beberapa shahabat, tabi’in dan para tokoh madzhab. Dari kalangan shahabat terdapat Abu Musa al-Asy’ari, Ibnu ‘Abbas, Ibn Mas’ud, ‘Ali, ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan az-Zubair bin al-‘Awwam. Dari kalangan tabi’in terdapat Thawus, ‘Atha’, Jabir bin Zaid dan mayoritas pengikut Ibn ‘Abbas, Abdullah bin Musa dan Muhammad bin Ishaq. Dan dari kalangan para tokoh madzhab terdapat Daud azh-Zhahiri dan kebanyakan sahabatnya, sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian sahabat Imam Malik, sebagian sahabat Imam Ahmad seperti al-Majd bin ‘Abdussalam bin Taimiyyah yang memfatwakan hal itu secara sembunyi-sembunyi dan cucunya, Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah yang memfatwakannya secara terang-terangan dengan memfatwakannya di majlis-majlisnya serta kebanyakan pengikutnya, di antaranya Ibn al-Qayyim yang membela mati-matian pendapat ini di dalam kitabnya al-Hadyu dan Ighaatsah al-Lahafaan. Di dalam kedua kitabnya tersebut, beliau memaparkannya secara panjang lebar, menukil berbagai nash-nash dan membantah pendapat para penentangnya dengan bantahan yang cukup dan memuaskan.

Dalil

Dalil pendapat ini terdiri dari nash-nash dan qiyas.
Dari nash, di antaranya:

Hadits yang diriwayatkan Muslim, bahwasanya Abu ash-Shahba’ berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Tahukah kamu bahwa yang tiga itu dulu dijadikan satu talak saja pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan permulaan masa ‘Umar.? Ia menjawab, “Ya.” Di dalam lafazh yang lain, “dikembalikan kepada satu talak.?”, ia mejawab, “Ya.”
Ini merupakan nash yang shahih dan sangat jelas sekali, tidak bisa ditakwil-takwil atau pun dirubah.

Sedangkan dari Qiyas:

Mengumpulkan tiga sekaligus adalah diharamkan dan merupakan bid’ah sebab Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (dalam agama) yang bukan berasal dari kami, maka ia tertolak.” Jadi, menjatuhkan (talak) tiga sekaligus bukan termasuk perkara yang berasal dari Rasulullah SAW sehingga ia tertolak.

Bantahan Terhadap Pendapat Pertama

Pendapat ke-dua ini membantah dalil-dalil pendapat pertama sbb:
Mengenai hadits Rukanah; di dalam sebagian lafazhnya terdapat, “Ia menalaknya tiga kali.” Dan di dalam lafazh yang lain, “Satu kali.” Sementara di dalam riwayat lain lagi terdapat lafazh, “al-Battah.” (putus). Oleh karena itu, al-Bukhari berkata mengenainya, “Ia hadits Muththarib.” (merupakan jenis hadits Dla’if/lemah-red)

Imam Ahmad mengatakan, “semua jalur periwayatannya lemah. Sebagian mereka (ulama) mengatakan, di dalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak dikenal (majhul), di dalamnya terdapat orang yang lemah dan ditinggalkan (periwayatannya tidak digubris).”

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah berkata, “Kualitas hadits Rukanah menurut para imam hadits, lemah. Dinilai lemah oleh Ahmad, al-Bukhari, Abu ‘Ubaid dan Ibn Hazm sebab para periwayatnya bukanlah orang-orang yang dikenal sebagai orang-orang yang adil dan kuat hafalannya (Dhabith).”

Sedangkan hadits ‘Aisyah RHA tidak tepat untuk dijadikan dasar berdalil sebab bisa jadi yang dimaksud dengan tiga tersebut adalah urutan terakhir bagi seorang suami yang manalak, dari tiga talak yang dimilikinya. Manakala ada kemungkinan seperti itu, maka berdalil dengannya pun menjadi batal. Hadits itu masih bersifat global (mujmal) sehingga dapat diarahkan kepada hadits Ibn ‘Abbas yang sudah dijelaskan (mubayyan) sebagaimana yang berlaku dalam ilmu ushul fiqih.

Adapun berdalil dengan amalan para shahabat, maka perlu dipertanyakan; siapa di antara mereka yang patut dan lebih utama untuk diikuti?


Kami katakan: bahwa jumlah mereka itu (para shahabat) lebih dari ratusan ribu. Bilangan orang yang banyak ini di mana orang nomor satu mereka adalah nabi mereka sendiri, yakni Rasulullah SAW menilai tiga talak tersebut sebagai jatuh satu kali. Hingga akhir hayat Rasulullah, kondisinya tetap seperti itu; khalifah beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq RA memberlakukan hal itu hingga wafat, lalu ia digantikan khalifah ‘Umar RA. Di awal pemerintahannya, kondisi tersebut pun masih berlaku sebagai yang berlaku pada masa Rasulullah SAW. Setelah itu lah baru tiga talak itu dijadikan tiga seperti angkanya sebagaimana telah kami jelaskan sebabnya.

Jadi, mayoritas shahabat yang wafat sebelum kekhalifahan ‘Umar tetap menjalankan dan memberlakukan tiga talak itu dianggap satu kali saja.

Dengan begitu, kita ketahui bahwa berdalil dengan amalan para shahabat RA telah dibatalkan dengan semi ijma’ mereka (para shahabat) pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq RA.

Tentunya, ‘Umar bin al-Khaththab amat jauh dari melakukan suatu amalan yang bertentangan dengan amalan yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Yang ia lakukan, bahwa ia melihat banyak orang yang terburu-buru dan sering sekali melakukan talak tiga padahal ini merupakan perbuatan bid’ah yang diharamkan. Karena itu, ia melihat perlunya memberikan pelajaran atas ucapan mereka tersebut sekaligus sebagai sanksi atas dosa yang mereka lakukan. Demikian pula, atas tindakan mereka yang sengaja ingin menyulitkan diri sendiri padahal sudah mendapat kelapangan dan toleransi yang tinggi. Apa yang dilakukan ‘Umar ini semata adalah sebuah ijtihad layaknya ijtihad yang dilakukan para ulama tokoh di mana bisa berbeda seiring dengan perbedaan zaman dan tidak akan tetap sebagai sebuah produk syari’at yang mengikat, yang tidak dapat berubah. Yang tetap dan mengikat itu hanya syari’at pokok dari masalah ini (masalah talak-red).

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah RAH berkata, “Jika ia (suami) menalaknya (isterinya) dengan talak tiga dalam masa suci baik satu kata atau beberapa kata seperti ‘Kamu ditalak, kamu ditalak, kamu ditalak’ atau ‘kamu ditalak’ kemudian berkata lagi, ‘kamu ditalak’, kemudian berkata lagi, ‘kamu ditalak’, menurut para ulama baik Salaf mau pun khalaf terdapat tiga pendapat dalam hal ini, baik wanita yang ditalak itu sudah disetubuhi mau pun belum:
Pertama, Bahwa hal itu merupakan talak yang dibolehkan dan mengikat; ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat lamanya (dipilih oleh al-Kharqy)

Ke-dua, Bahwa hal itu merupakan talak yang diharamkan dan mengikat; ini adalah pendapat Malik, Abu Hanifah dan Ahmad (yang dipilih oleh kebanyakan sahabatnya). Pendapat ini juga dinukil dari kebanyakan ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan para shahabat dan Tabi’in.

Ke-tiga, Bahwa ia merupakan talak yang diharamkan dan hanya berlaku satu kali talak saja; ini pendapat yang dinukil dari sekelompok ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan para shahabat. Pendapat ini juga diambil kebanyakan Tabi’in dan generasi setelah mereka. Juga, merupakan pendapat sebagian sahabat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad.

Tarjih

Pendapat ke-tiga inilah yang didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Di dalam Kitabullah atau pun as-Sunnah tidak terdapat hal yang mengharuskan berlakunya talak tiga bagi orang yang menjatuhkannya sekaligus baik dalam satu kata atau beberapa kata tanpa diiringi dengan rujuk atau pun akad.

Bahkan, di dalam Kitabullah dan as-Sunnah keharusan itu hanya berlaku bagi suami yang menalak hal yang dibolehkan Allah dan Rasul-Nya. Ini didukung oleh Qiyas dan penilaian dengan seluruh prinsip-prinsip syari’at.

Tidak terjadi pertentangan di kalangan kaum Muslimin bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang terjaga dari kesalahan (ma’shum) dalam apa yang disampaikannya dari Allah (wahyu). Beliau ma’shum dalam hal yang disyari’atkannya kepada umatnya menurut ijma’ kaum Muslimin. Demikian pula, umat Islam terjaga dari berkumpul di dalam kesesatan.

Ada pun masalah ‘bersumpah dengan talak’, Ibn Taimiyyah berkata, “Perbedaan antara talak dan bersumpah dengannya amat kentara, juga antara nadzar dan bersumpah dengan nadzar. Bila seseorang meminta hajat kepada Allah seraya berkata, ‘Jika Allah menyembuhkan penyakitku, melunasi hutangku atau menyelamatkanku dari kesulitan ini, maka aku bersumpah demi Allah akan bersedekah sebanyak seribu dirham, atau berpuasa selama sebulan atau membebaskan budak.’ Ini adalah mengaitkan nadzar (mensyaratkannya) di mana wajib menepatinya berdasarkan Kitabullah, as-Sunnah dan Ijma’.

Bila seseorang mengaitkan (mensyaratkan) nadzar dalam redaksi sumpah, dengan tujuan untuk menganjurkan atau melarang, seperti “Jika aku bepergian bersama kalian, atau jika aku mengawini si fulan, maka aku akan berhaji, atau hartaku akan aku sedekahkan’; kondisi orang tersebut menurut para shahabat dan jumhur ulama adalah sebagai seorang yang bersumpah dengan nadzar bukan hanya sebagai orang yang bernadzar. Bila ia tidak menepati apa yang telah dikomitmeninya, maka boleh ia menggantikannya dengan kafarat (tebusan) sumpah. WALLAHU A’LAM



KEPUTUSAN
MAJELIS KIBAR ULAMA
(DEWAN ULAMA-ULAMA BESAR)
Mengenai Masalah Talak Tiga Sekaligus (Dengan satu lafazh)
No.18, tanggal 12-11-1393 H

Majelis Hai’ah Kibar ulama mengatakan: Pembahasan masalah talak tiga dengan satu lafazh. Setelah melakukan pengkajian, urun rembug dan pemaparan pendapat-pendapat yang berbicara tentang hal itu serta mendiskusikan setiap pendapat tersebut; dengan mayoritas suara, majelis memilih pendapat yang menyatakan jatuhnya talak tiga dengan satu lafazh sebagai talak tiga. Ada pun para anggota yang berbeda pendapat mengenai hal ini ada 5 orang, yaitu:
1. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
2. Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
3. Syaikh ‘Abdullah Khayyath
4. Syaikh Rasyid bin Hanin
5. Syaikh Muhammad bin Jubair
Mereka berlima memiliki pandangan lain, redaksinya sebagai berikut:
Alhamdulillah, shalawat dan salam atas Rasul-Nya dan keluarga besarnya, wa ba’du:
Kami memandang bahwa talak tiga dengan satu lafazh berlaku hanya satu kali talak saja.

(masing-masing dari kedua belah pihak ini mengemukakan dalil-dalil yang mendukung pandangan-pandangan mereka)


(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkam Min Buluugh al-Maraam karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.V, hal.14-21) - www.Al Sofwah
Tags: hadits
Prev: Yang Di Ridhai dan Yang Di Benci Oleh Allah
Next: Sahabat Nabi Shalallahu'alaihi wasallam dimata Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Wednesday 21 September 2011

Menikahlah Wahai Pemuda, Jangan Berzina

PERKAHWINAN DAN HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGANNYA


PERKAHWINAN DAN HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGANNYA

1)      PENGERTIAN PERKAHWINAN

Maksud perkahwinan ialah akad yang menghalalkan di antara  lelaki dengan perempuan hidup bersama  dan menetapkan tiap-tiap pihak daripada mereka hak-hak dan tanggungjawab.  Dalam erti  kata lain, suatu akad yang menghalalkan persetubuhan dengan  sebab perkataan yang mengandungi lafaz nikah, perkahwinan dan sebagainya.

Di dalam Al-Quran terdapat banyak ayat-ayat yang menyebut mengenai  pensyariatan perkahwinan dianjurkan secara langsung  atau tidak langsung kepada manusia sesuai dengan  tuntutan fitrah semulajadinya.
Berikut dinyatakan beberapa ayat Al-Quran Al-Karim mengenai perkahwinan dan tujuan-tujuan disyariatkannya.

Allah  berfirman dalam surah An-Nisaa’ ayat 3, ertinya :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (bilah menikah) anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.  Tetapi  jika kamu takut tidak dapat  berlaku adil, maka seorang  sajalah, atau hamba sahaya yang kamu miliki.  Yang demikian itulah  yang lebih memungkinkan kamu terhindar dari berlaku sewenang-wenangnya.”

Dari ayat tersebut di atas, dapat diambil penjelasan bahawa seorang lelaki disuruh oleh Allah Taala untuk berkahwin jika berkemampuan, sehingga kepada empat  orang isteri dengan cara berlaku adil terhadap mereka sepertimana yang ditentukan oleh syarak.  Sebaliknya jika bimbang tidak dapat berlaku adil maka berkahwinlah dengan seorang sahaja.

Allah berfirman, ertinya :

“Wahai manusia ! Bertaqwalah kamu kepada Tuhanmu, yang telah menjadikan kamu dari satu diri, dan daripadanya dijadikanNya serta dari keduanya Dia memperkembang biakkan lelaki dan  perempuan yang banyak.  Bertaqwalah kepada Allah yang kamu telah  bertanya tentang namaNya yang peliharalah keluargamu.  Sesungguhnya Allah  Pengawas atas kamu.”

Di antara hadis Rasulullah SAW yang menerangkan mengenai perkahwinan adalah sebagaimana berikut – ertinya :

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud katanya, Rasulullah SAW bersabda kepada kamu:  Wahai kumpulan anak-anak muda ! Barangsiapa di antara kamu yang mampu berkahwin hendaklah  berkahwin.  Kerana sesungguhnya perkahwinan itu menutup pandangan dan memelihara kemaluan.  Tetapi barangsiapa yang tidak  mampu, maka hendaklah dia berpuasa sebab yang demikian itu akan menahan nafsunya.”

Dijelaskan dalan hadis di atas bahawa  Rasulullah SAW memerintahkan umatnya
yang mempunyai kemampuan dan keupayaan  supaya berkahwin, kerana perkahwinan merupakan tuntutan syariat dan sunnah Nabi SAW.  Antara faedah yang ketara di sini ialah  seseorang itu dapat  menjauhkan diri dari perkara negatif atau perbuatan keji yang dilarang oleh Allah Taala seperti berbuat zina dan sebagainya.  Sekiranya seseorang itu tidak mampu berkahwin hendaklah dia berpuasa itu dapat mengekang nafsu syahwat.
Memandangkan kelengkapan ajaran Islam dalam menjamin kesejahteraan rumahtangga, keturunan dan keselamatan umat, maka syariat Islam telah mengadakan beberapa peraturan hukum perkahwinan agar manusia tidak akan tergelincir ke dalam kerosakan dan kehancuran kerana sudah menjadi fardhu ain terhadap orang Islam dan mengaku dirinya Islam wajib mempelajari hukum-hukum Allah termasuk hukum nikah cerai dan rujuk.
Perkahwinan hendaklah diasaskan kepada beberapa factor penting untuk menjamin kebahagiaan antaranya ialah :
1. Perkahwinan diasaskan dengan rasa taqwa kepada Allah.  Tanpa taqwa, dikhuatiri perkahwinan itu tidak akan mencapai kepada matlamatnya, tambahan pula berkahwin itu juga merupakan ibadat dan sunnah.
2. Perkahwinan hendaklah juga diasaskan kepada rasa Al Mawaddah dan Ar Rahman.  Tanpa dua perkara ini perkahwinan akan hancur dan tinggallah cita-cita sahaja.
3. Sesebuah rumahtangga juga perlu diasaskan kepada dasar hidup bersama secara yang baik dan diredhai Allah SWT.  Maka itulah yang biasa disebut Al Mu’assarah Bi Al Maaruf.
4. Perkahwinan juga berasaskan kepada amanah dan tanggungjawab bukannya kehendak nafsu semata-mata.  Suatu amanah hendaklah ditunaikan dengan sebaik-baiknya, sementara tanggungjawab dilaksanakan dengan jujur dan ikhlas hati.

2)      HIKMAH PERKAHWINAN

Setiap ciptaan Allah SWT mempunyai faedah dan hikmahnya yang tersendiri.  Faedah dan hikmah tersebut boleh dilihat dan difikir oleh akal manusia, hanya Allah Taala sahaja yang mengetahuinya.  Begitulah juga dengan perkahwinan, mempunyai faedah dan  seterusnya kepada masyarakat Islam.
Di antara faedah dan hikmahnya ialah :-
1.      Supaya manusia itu hidup berpasangan menjadi suami isteri yang sah bagi mengatur dan membangunkan rumahtangga dengan janji-janji setia (akad nikah) sehidup semati.
2.      Supaya perhubungan lelaki dan wanita akan lebih bermakna lagi di sisi Allah dengan ikatan dan pertalian yang kukuh di mana tidak mudah putus atau diputuskan.
3.      Membangunkan masyarakat dari asas-asas rumahtangga yang damai dan berdisiplin.
4.      Supaya umat manusia berkembang biak bagi meramaikan  dan memakmurkan bumi Allah yang luas ini.
5.      Supaya dapat melahirkan keturunan bangsa manusia yang diakui sah  serta kekal pula dalam masyarakat dan negara.
6.      Supaya dapat menumpukan perasaan mahabbah, kasih sayang, tanggungjawab seorang suami kepada isteri, seorang bapa kepada anaknya, seorang datuk kepada cucunya dan  seterusnya dari sebuah masyarakat kepada negara.
7.      Perkahwinan membuka pintu rezeki serta nikmat hidup.
8.      Perkahwinan memelihara agama, kesopanan, kehormatan dan kesihatan.
9.      Menyempurnakan naluri manusia bagi mendapat kepuasan nafsu dan keinginan syahwat serta menjauhkan diri dari gangguan godaan maksiat dan kezalinan yang amat dilarang oleh agama.
Pendek kata perkahwinan adalah peraturan dari Allah Taala yang diturunkan untuk kebaikan seluruh masyarakat manusia bagi mencapai kebahagiaan umat dengan baik dan sempurna.  Jika keadaan  rumahtangga itu kucar kacir dan tidak kukuh, maka keadaan umat itu juga turut lemah dan sengsara akhirnya.

3)      HUKUM-HUKUM PERKAHWINAN
Hukum asal suatu perkahwinan adalah harus sahaja tetapi dalam pada itu berkemungkinan boleh berubah menjadi wajib, sunat, haram dan makruh di mana sesuai dengan keadaan seseorang yang akan menempuh perkahwinan.
Huraiannya adalah seperti berikut :-
1. Perkahwinan yang wajib.
Orang yang diwajibkan berkahwin ialah orang yang mampu untuk berkahwin, sedang ia khuatir terhadap dirinya akan melakukan perbuatan zina.
2. Perkahwinan yang sunat
Orang yang disunatkan berkahwin ialah orang yang mempunyai kesanggupan untuk berkahwin dan sanggup memelihara diri dari kemungkinan melakukan perbuatan yang terlarang.
3. Perkahwinan yang haram
Orang yang diharamkan berkahwin ialah orang yang mempunyai kesanggupan untuk berkahwin tetapi kalau ia berkahwin diduga akan menimbulkan kemudharatan terhadap pihak yang lain seperti orang gila, orang yang suka membunuh atau mempunyai sifat-sifat yang dapat membahayakan pihak yang lain dan sebagainya.
4. Perkahwinan yang makruh
Orang yang makruh hukumnya berkahwin ialah orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk berkahwin (dibolehkan melakukan perkahwinan) tetapi ia dikhuatiri tidak dapat  mencapai tujuan perkahwinan.  Oleh itu dianjurkan sebaliknya ia tidak melakukan perkahwinan.
Demikian huraian hukum-hukum perkahwinan yang boleh dijadikan panduan dan juga  pengajaran yang baik kepada sesiapa yang hendak berkahwin.

RUKUN NIKAH
1.      Calon isteri. (perempuan)
2.      Calon suami. (lelaki)
3.      Wali.
4.      Dua orang saksi.
5.      Akad ijab dan qabul.

1)      SYARAT-SYARAT CALON ISTERI
1. Bukan mahram dengan bakal suami.
2. Bakal isteri itu tentu orangnya, tidak sah perkahwinan kalau seorang bapa berkata: “Saya nikahkan awak dengan salah  seorang daripada anak-anak perempuan saya”.  Pendeknya mestilah ditentukan yang mana satu daripada anak-anaknya itu.
3. Bukan isteri orang dan bukan pula masih dalam iddah.
4. Benar-benar  yang ia seorang perempuan – bukan khunsa.
5. Dengan rela hatinya bukan dipaksa-paksa kecuali bakal isteri itu masih gadis maka bapa atau datuk (bapa kepada bapa) boleh memaksanya berkahwin.

2)      SYARAT-SYARAT CALON SUAMI
1. Bukan mahram dengan bakal isteri.
2. Dengan pilihan hatinya sendiri, tidak sah berkahwin dengan cara paksa.
3. Lelaki yang tertentu, tidak sah perkahwinan kalau wali berkata kepada dua  orang lelaki : “Saya nikahkan anak perempuan saya Aminah dengan salah seorang daripada kamu berdua.”
4. Bakal suami mestilah tahu yang bakal isteri itu sah berkahwin dengannya.
5. Bakal suami itu bukan sedang dalam ilham.
6. Bakal suami tidak dalam keadaan beristeri empat.

3)      SYARAT-SYARAT WALI
1. Islam, orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau saksi.  Firman Allah:
Ertinya : Wahai orang yang beriman janganlah kamu ambil orang Yahudi dan orang Nasrani untuk menjadi wali.
(Surah Al-Maidah : Ayat 51)
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Lelaki, perempuan tidak boleh menjadi wali.  Sabda Rasulullah SAW :
Ertinya : Tidak harus perempuan mengkahwinkan perempuan dan tidak perempuan mengkahwinkan dirinya sendiri, dan kami berkata: perempuan yang mengkahwinkan dirinya sendiri adalah penzina.
(Riwayat Al-Dar Al-Qatni)
6. Adil – tidak fasiq, sabda Rasulullah SAW :
Ertinya : Tidak sah perkahwinan itu melainkan dengan wali yang adil.
7.   Tidak dalam ihram, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Ertinya : Orang yang sedang berihram tidak boleh berkahwin dan tidak boleh mengkahwinkan orang lain.
<(Riwayat Muslim)
8.   Tidak cacat akal atau fikirannya samada kerana terlalu tua atau lainnya.
9.   Tidak dari orang yang ditahan kuasanya dari membelanjakan hartanya kerana bodoh atau terlalu boros.

4)      SYARAT-IJAB DAN QABUL

a.   Syarat-syarat ijab :
1. Hendaklah dengan perkataan nikah atau tazwij yang terang dan tepat.
2.   Lafaz ijab itu tidak mengandungi perkataan yang menunjukkan perkahwinan itu terbatas waktnya.
3.   Dari wali sepertii katanya : “Saya nikahkan awak dengan anak saya Fatimah  dengan mas kahwin lima ratus ringgit tunai / bertangguh”, atau pun dari wakil  wali  seperti katanya : Saya nikahkan dikau dengan Fatimah binti Yusof yang telah berwakil wali ayahnya kepada  saya dengan mas kahwin sebanya lima ratus ringgit tanai / bertangguh”.
4.   Tidak dengan lafaz ta’liq seperti kata wali : “Saya nikahkan dikau dengan anak saya Fatimah sekiranya anak saya itu diceraikan dan selesai iddahnya”.

b.   Syarat-syarat Qabul :
1. Tidak berselang lama atau tidak diselangi dengan perkataan-perkataan lain di antara  ijab dan qabul.  Ertinya di antara ijab dan qabul tidak diselangi oleh sesuatu samada perkataan-perkataan yang lain daripada ijab dan  qabul atau diam yang lama, bukan diam untuk bernafas.
2. Diterima oleh calon suami seperti katanya : “Saya terima nikahnya dengan mas kahwin sebanyak yang tersebut tunai / bertangguh”.  Ataupun wakilnya seperti katanya: “Saya terima nikahnya untuk Osman, (kalau calon suami itu bernama Osman) dengan mas kahwin yang tersebut”.
3. Lafaz  qabul itu tidak berta’liq.
4. Lafaz qabul  itu tidak mengandungi perkataan yang menunjukkan nikah itu terbatas waktunya.
5. Hendaklah disebut nama bakal itu atau ganti namanya, seperti kata calon suami : “Saya  terimalah nikah Fatimah atau nikahnya”.
6. Lafaz qabul itu sesuai dengan lafaz ijab.
7. Hendaklah lafaz qabul itu lafaz yang terang bukan sindiran.

5)      SYARAT-SYARAT SAKSI
1. Kedua saksi perkahwinan itu mestilah beragama Islam.
2. Lelaki
3. Berakal
4. Baligh
5. Merdeka
6. Adil (tidak fasiq).
7. Melihat, tidak sah menjadi saksi orang yang buta.
8. Mendengar, tidak sah menjadi saksi orang yang pekak.
9. Kuat ingatan, maksudnya ingat apa yang didengar dan yang dilihat.
10. Faham dengan bahasa yang digunakan dalam ijab dan qabul.
11. Bukan yang tertentu menjadi wali seperti bapa atau saudara lelaki yang tunggal (tidak ada saudara lelaki  yang lain), ertinya : tidak sah perkahwinan sekiranya bapa atau saudara yang tunggal itu mewakilkan kepada orang lain untuk mengakadkan perkahwinan itu sedangkan mereka menjadi saksi dalam perkahwinan tersebut.

6)      SUSUNAN WALI
1. Bapa
2. Datuk sebelah bapa hingga ke atas
3. Saudara seibu sebapa
4. Saudara sebapa
5. Anak saudara  lelaki seibu sebapa hingga ke bawah.
6. Anak saudara lelaki sebapa hingga ke bawah
7. Bapa saudara seibu sebapa hingga ke atas.
8. Bapa saudara  sebapa  hingga ke atas.
9. Anak bapa  saudara seibu sebapa (sepupu) hingga ke bawah.
10. Anak bapa saudara sebapa (sepupu) hingga ke bawah.
11. Kemudian hakim (Sultan) termasuklah orang-orang yang dilantik oleh Sultan seperti Kadhi atau naib Kadhi.

Di dalam susunan wali tersebut, wali yang paling hampir kepada perempuan digelar  dengan wali aqrab dan yang terjauh digelar dengan wali ab’adh.
Untuk menjadi wali perkahwinan itu mestilah didahulukan yang lebih aqrab kemudian kalau tidak ada yang lebih aqrab baharulah yang selepas  dan begitulah seterusnya.

7)      WALI HAKIM
Hakim mempunyai kuasa untuk menjadi wali dalam satu-satu perkahwinan di masa yang tertentu seperti berikut :
1.      Ketika tidak ada wali yang tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah Salallahu Aalihi Wassallam :
Ertinya : Sultan menjadi wali bagi mereka yang tidak ada wali.
2.      Wali enggann mengahwinkannya walaupun wali mujbir (bapa atau datuk) sekiranya keengganan itu kurang dari tiga kali, tetapi jika keengganan itu lebih  dari tiga kali maka wali yang  lebih jauh darinya berhak menjadi wali sebagaimana dalam  susunan wali.
Sebagai contoh wali yang enggan menikahkan yaitu : perempuan yang baligh, berakal memohon kepada wali supaya  mengahwinkan dengan seorang lelaki yang setaraf dengannya sedangkan wali bapa atau datuk mahukan seorang yang  lain yang setaraf juga.  Bentuk yang demikian tidaklah dianggap wali itu enggan atau ingkar, kerana wali itu lebih matang daripada perempuan itu dari segi perhatian dan pandangan untuk kepentingan atau kebahagiaan perempuan tersebut.
3.      Wali berada di tempat yang jauh sekadar perjalanan yang mengharuskan qasar sembahyang iaitu kira-kira enam puluh batu dan tidak ada  pula wali yang sedarjat dengan wali yang jauh itu di tempat perempuan yang akan dikahwinkan itu.
4.      Wali sedang di dalam ihram dan tidak ada wali yang lain yang sedarjat yang tidak di dalam ihram.
5.      Wali itu sendiri berkahwin dengan sempurna itu, seperti anak bapa saudara yang ketika sepatutnya beliau menjadi wali, tetapi oleh kerana beliau inginkan perempuan itu untuk menjadi  isterinya dan tidak ada wali yang lain yan sedarjat dengannya maka ketika itu hakimlah yang menjadi wali.
6.      Hakim menjadi wali untuk mengahwinkan perempuan yang sudah baligh tetapi gila, sekiranya perlu dikahwinkan dan tidak ada wali yang mujbar (bapa atau datuk).
7.      Wali di dalam tahanan dan tidak boleh dihubungi sama sekali.
8.      Wali bersembunyi.
9.      Wali ghaib dan tidak diketahui hidup atau mati atau di mana ia tinggal.